Jerman, Kemendikbud — Lantunan lagu berbahasa Jawa mengalun lantang dari seorang pria paruh baya. Di belakangnya tampak seorang perempuan muda berpakaian khas Jawa mengikutinya sambil menari mengikuti lantunan suara sang pria. Keduanya berjalan pelan memasuki panggung diskusi Indonesia di Leipzig Book Fair, Jerman.
Pementasan singkat Tari Lengger asal Banyumas, Jawa Tengah tersebut mengawali diskusi pertama di stand Indonesia di Leipzig Book Fair. Adalah Ahmad Tohari, seorang penulis ternama Indonesia yang bukunya menjadi tema diskusi. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karyanya telah menjadi inspirasi film Sang Penari. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk terdiri dari Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986).
Dalam diskusi yang bertajuk “The Dancer: A woman’s Life in a Time of Terror” tersebut, Ahmad Tohari mengatakan ia ingin mengenalkan Indonesia kepada masyarakat internasional mengenai budaya dan kearifan lokal Indonesia melalui karya sastranya. Hal itu juga yang menjadi motivasinya memasukkan unsur sejarah Indonesia yang menjadi latar belakang waktu dalam novelnya. Hingga saat ini Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk telah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris.
“Saya juga berjanji akan mempelajari karya sastra Jerman di Indonesia,” ujar Ahmad Tohari saat sesi diskusi di Leipzig Book Fair, Jerman, Kamis (12/03/2015).
Diskusi pertama di stand Indonesia itu cukup menarik perhatian pengunjung. Selain diawali dengan pementasan Tari Lengger oleh seniman Wasi Bantolo dan penari Ayun Aninditta Setya Wulan, diskusi juga menayangkan cuplikan film Sang Penari yang terinspirasi dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang kisah cinta antara Srintil, seorang penari ronggeng muda dan Rasus, temannya sejak kecil yang berprofesi sebagai tentara di desa kecil mereka, Dukuh Paruk. Kisah cinta mereka dilatarbelakangi sejarah Indonesia pada tahun 1960-an yang penuh gejolak politik
Sumber: portal kemdikbud